
Malam sepulang dari mengikuti misa Minggu di St Joacim Pro Catedral, Perth, Western Australia, kami bertiga, aku bersama kedua anakku, bertemu seorang gadis belia dari Myanmar. Dia post graduate student dari Curtin University, Perth. Lumayan juga pikirku ada teman ngobrol di bus stop. Pembicaraan mulai dari mahalnya beaya hidup di Perth, tuition fee yang sama sekali tidak murah, sampai nilai tukar mata uang Indonesia dan Myanmar.
Setelah melihat anakku melintas, pembicaraanpun beralih ke kelas berapa mereka, umur berapa, sampai ke mata pelajaran sekolah di Perth. Sampailah kami pada penilaian yang sama, materi pelajaran di Indonesia dan Myanmar lebih advance dibandingkan di Perth. Obrolan ringanpun berlanjut pada pertanyaan yang selama tahunan mengusik batinku.
Tanyaku padanya, ”Apa yang salah menurutmu? Pilihan bahan ajar yang kurang tepatkah? Metode belajar mengajar yang kurang tepatkah? Atau ada hal lain yang menyebabkan sekolah di negara kita tidak bisa menghasilkan hasil akhir yang minimal setaraf atau bahkan melebihi negara maju khususnya Australia?” Pembicaraan kamipun lebih terfokus pada pencapaian kemajuan teknologi terapan. Pertanyaan aku lanjutkan begini. “Apakah karena negara kita financially kurang beruntung sehingga pemerintah kurang dana untuk pengembangan teknologi yang biasanya lahir dari penelitian yang tentu saja memerlukan beaya, belum lagi tes uji kelayakannya sebelum sampai ke tangan konsumen? Sehingga kita terpaksa cukup puas menunggu inovasi dari negara maju dan kemudian kita tinggal mengikutinya?
Si gadis Myanmar menjawab, ”Aku pikir karena teori advance yang kita pelajari di sekolah itu, tidak diikuti kemampuan untuk menerapkannya. Jadi teori hanya tinggal teori. Hmm, ada betulnya, pikirku. Selanjutnya dia menambahkan ”Di sini (Australia) sejak kecil anak sudah dibiasakan menerapkan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari hari”. Lagi lagi aku menyetujuinya sebab memang itu yang terjadi pada anak anakku di Perth Australia.
Akhirnya bus yang kami tunggupun datang, kamipun naik ke atas bus. Pembicaraan sederhana tadi mampu me recall perenungan tentang proses pembelajaran di Indonesia tercinta. Sembari berjalan menuju apartmen kami, akupun mencoba menganalisisnya. Kompleksitas permasalahan terbayang dalam ingatanku seperti layaknya benang kusut yang saling bertaut dan sulit diurut hingga menghasilkan ikalan runut. Dari komitmen pemerintah terhadap pendidikan yang terlihat dari besarnya APBN untuk pendidikan, keringanan beaya bagi siswa kurang mampu, perhatiannya pada anak anak dengan prestasi tinggi.
Fasilitas pendidikan yang memadai untuk semua sekolah, materi kurikulum yang tepat sasaran, bobot materi ajar yang sesuai dengan usia anak. Barangkali metode pembelajaran juga tak kalah krusial untuk ditilik lagi. Ingatanku kembali pada kegiatan renang dan musik yang diikuti anak laki lakiku. Aku sungguh merasakan bedanya.Tahun sebelumnya tepat di Hari Raya Lebaran, pagi harinya sebelum menghadiri undangan teman untuk berlebaran bersama, aku bersama suami mendampingi anakku di Aqua Life.
Hari itu merupakan hari ke empat dari keseluruhan 10 hari learning to swim. Anakku sudah nampak bisa berenang dengan baik. Beda betul dengan les renang yang dikutinya di Jogja, sebelum kedatangan kami ke Perth. Saat itu dia belum juga mampu berenang dengan baik meski sudah mengikuti les itu entah berapa kali. Ku amati nampak tidak ada yang istimewa dari cara gurunya mengajar, kecuali penyampaian pesan yang disertai kata kata yang membesarkan hati anak.
Selain itu diusahakan sebanyak mungkin diselingi lagu lagu yang masuk kategori nursery rhyme yang amat lekat dalam ingatan anak. Tak terlewatkan, anakku juga sempat memperoleh dorongan yang memunculkan keberaniannya. Awal awal memulai les renangnya, anakku nampak ragu dan takut berenang di tempat barunya. Sang gurupun segera menangkap perasaannya, dan kemudian berkata; ”See, I still can stand up. I’m not drown“.
Anakkupun mencobanya dan tatkala berhasil mengatasi rasa ragu dan takutnya, ku lihat ada senyuman lega di wajahnya. Soal bermain musikpun tak terlalu jauh ceritanya. Entah berapa bulan sudah ke dua anakku mengikuti les privat untuk bermain piano. Sengaja memang aku memanggil guru privat ke rumah sejak anak gaisku kelas 4 SD. Hasilnya dia bisa memainkan beberapa lagu.
Sedang adiknya yang mulai belajar sejak usia 4 tahun, selama kurang lebih 3 bulan mengikuti privat itu, tidak lebih dari 3 buah lagu yang bisa dia mainkan. Sementara di Australia dalam hitungan 6 bulan, dia bisa menguasai paling tidak 12 buah lagu, dalam memainkan clarinet kebanggaannya. Dengan sekali pentas di Burswood yang merupakan entertainment centre kebanggaan Western Australia.
Dalam dalam 3 hari sesudahnya, diapun memamerkan kebolehannya dalam Spring Festival di Belmont City College. Aku berikan gambaran tentang cara guru di Australia mengajar dengan menceritakan beberapa catatan yang aku anggap perlu, sewaktu anakku mengikuti les renang dan musik sebab untuk kedua aktivitas itu aku cukup efektif mengikutinya. Di sisi lain, soal materi pelajaran sekolah juga nampak ada bedanya dengan Indonesia. Di Australia anak anak Primary School (SD) lebih ditekankan pada penguasaan bahasa dan matematika.
Kepadatan materinyapun berbeda dengan Indonesia. Di Australia, anak tidak dijejali dengan hapalan dan materi yang terlampau padat. Pekerjaan rumah diberikan Senin dan dikumpulkan Jumat. Jawaban soalnya tidak ada di dalam buku namun harus dicari dari sumber lain, dan yang paling sering adalah dari internet. Bentuk soalnya bukan multiple choice tapi uraian. Soal yang diberikan lebih memacu daya nalar anak dan bukan sekedar memindahkan isi buku pelajaran ke dalam kertas pekerjaan rumah.
Sungguh sejak muda belia, anak anak sudah dibiasakan untuk menggunakan penalaran dari pada sekedar hapalan. Tiba tiba aku teringat cerita suami tentang Parents Meeting. Suatu acara yang tidak bisa aku ikuti karena bekerja. Waktu itu ada seorang ibu yang berasal dari Korea Selatan, mengutarakan sebaiknya materi dipadatkan sehingga anak bisa memperoleh lebih banyak pengetahuan dan suasana dibuat lebih serius agar anak terpacu untuk berprestasi lebih baik.
Dia menekankan pada kompetisi antar siswa di dalam kelas. Guru kelas menjawab selama puluhan tahun mengajar, dia memperoleh pelajaran berharga, anak harus dibuat gembira dalam proses belajar. Sesuatu yang dilakukan dengan hati gembira akan jauh lebih efektif dari pada dilakukan dalam keadaan terpaksa. Paling penting adalah anak anak suka. Artinya belajar karena perasaan suka dan tidak terpaksa.
Itulah sekedar sharingku mengajak kita untuk kembali merenungkan dunia pendidikan kita khususnya proses pembelajaran di negeri tercinta. Dengan harapan bisa mengambil yang baik agar ke depan kitapun bisa menghasilkan generasi yang produktif. Dari uraian di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah materi pembelajaran bukan satu satunya variabel untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang baik.
Tapi perlu dibarengi dengan metode belajar mengajar yang tepat disertai dengan menumbuhkan rasa gembira pada anak selama proses belajar mengajar.(*)